Tak dapat dimungkiri,
Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berperang adalah sesama orang
Minang dan
Mandailing atau
Batak umumnya.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di
kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat
Islam sesuai dengan
Ahlus Sunnah wal Jamaah (
Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah
shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam
Harimau nan Salapan meminta
Tuanku Lintau untuk mengajak
Yang Dipertuan Pagaruyung beserta
Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (
Bid'ah).
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara
Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan
Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa
nagari dalam
kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya
Kaum Padri dibawah pimpinan
Tuanku Pasaman menyerang
Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di
Koto Tangah dekat
Batu Sangkar.
Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada
21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah
Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di
Padang, sebagai kompensasi
Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau).
[3] Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti
kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan
Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di
Padang waktu itu.
Campur tangan
Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan
Simawang dan
Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang, Dalam hal ini
Kompeni melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral
Johannes van den Bosch mengajak pemimpin
Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat
Perjanjian Masang pada tahun
1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti
Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari
Pandai Sikek.
Namun, sejak awal
1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat
Minangkabau itu sendiri.
[4] Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama
Plakat Puncak Pato di
Tabek Patah yang mewujudkan konsensus
Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (
Al-Qur'an)).
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya
Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?).
[4]
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh
Belanda dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)
[5] yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti
Jawa,
Madura,
Bugis, dan
Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga terda[at nama-nama
Inlandsche (
pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi,
Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan pertahanan Padri.
Dari
Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal
20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang
Eropa dan
Afrika, 1
sergeant, 4
korporaals dan 112
flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara
Ghana dan
Mali. Mereka juga disebut
Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.